Putu Wijaya - Bila Malam Bertambah Malam
Identitas Buku:
Judul buku :
Bila Malam Bertambah Malam
Penulis :
Putu Wijaya
Cetakan ke-2 : 2003
Penerbit :
PT Dunia Pustaka Jaya
Ketebalan :
140 halaman
ISBN :
979-419-169-8
Resensi
Bila
Malam Bertambah Malam merupakan sebuah karya yang terlahir atas keresahan
penulis pada perbedaan kasta di Bali. Putu Wijaya selaku pemilik karya ini
telah mencantumkan detail-detail mengenai adat dan kebiasaan para bangsawan di
Bali sebagai bentuk kegelisahannya. Melalui tokoh-tokoh seperti Wayan, Ngurah,
Nyoman, Gusti Biang itulah penulis menuangkan kegelisahannya yang kemudian
mendekonstruksi sebuah kasta, dan mengembalikan kesadaran pembaca pada
hakikatnya sebagai manusia.
Tokoh
Gusti Biang dalam cerita adalah sebagai seorang perempuan biasa yang kemudian
menikah dengan seorang bangsawan, sehingga dapat serta merta menaikkan
derajatnya. Tokoh ini diceritakan telah berusia lanjut dan memiliki sifat egois
yang tinggi. Karenanya, kedua pembantu (Nyoman dan Wayan) menjadi objek atas
emosi Gusti Biang yang tidak pernah stabil. Hal ini dapat ditemui pada sifat
bengis Gusti Biang kepada Nyoman yang selalu salah dimatanya. Gadis muda ini
selalu nampak salah karena dianggapnya sebagai seorang yang jahat dan merepotkan.
Dulunya dia disekolahkan agar sedikit berpendidikan, sehingga bisa baca tulis
dan menjadi begitu pandai memaknai kehidupan. Nyoman yang selalu menjadi
sasaran atas kemarahan Gusti Biang ini sudah benar-benar ingin keluar, namun
hutang budilah yang membuatnya terpaksa harus menyabarkan hati untuk tetap
tinggal bersama janda tua beranak satu tersebut.
Dalam
hal ini penulis menunjukkan bahwa peran kasta masih sangat penting dalam budaya
Bali. Sehingga, seseorang haruslah menikah dengan bangsawan untuk bisa
menaikkan derajat. Dengan begitu, dirinya akan dapat memiliki kebahagiaan dan
kekuasaan atas orang lain yang berada di bawahnya. Hal ini berlaku pula kepada
Ngurah, putra tunggal dari Gusti Biang. Gusti melarang Ngurah untuk menikahi
seorang perempuan yang bukan berasal dari bangsawan, agar tidak menjadi bahan
ejekan orang.
Bagi
Ngurah, pernikahan bukan melulu perihal kasta maupun gelar bangsawan dan
kehormatan, melainkan atas dasar cinta. Berawal dari cinta itulah kehidupan
akan menjadi harmonis dan bahagia. Tapi tidak untuk Gusti Biang yang sedari
awal memang tidak berdasarkan kecintaan pada suaminya, melainkan pada gelar
bangsawan yang dimiliki. Hal ini menyebabkan dirinya menjadi sosok yang gila
harta, suka menghitung-hitung laba rugi biaya hidup yang telah dikeluarkan
sebagai senjata bagi pelayan yang membangkang.
Sebagai
pembaca, saya dapat menangkap pesan lain yang ingin disampaikan oleh penulis.
Bahwa pada kenyataannya, dalam kehidupan ini memang harta menjadi masalah utama
bagi kita sebagai mahluk sosial. Dengan harta, manusia bisa saja menjadi
berbeda dengan manusia lain sehingga membuat hubungan menjadi tidak harmonis
dan kerap kali orang-orang yang memiliki harta berlebih akan memandang sebelah
mata terhadap orang-orang yang kekurangan.
Komentar
Posting Komentar