Bukan Pasar Malam – Pramoedya Ananta Toer
Bukan Pasar Malam – Pramoedya Ananta Toer
Dalam proses membaca sebuah buku, terutama
karya sastra memerlukan ketelitian, niat dan ingatan yang kuat. Karena dengan
begitu kita akan tidak hanya menjadi penikmat, melainkan pembaca yang kritis.
Resensi adalah salah satu media yang bisa digunakan oleh pembaca untuk
memberikan informasi mengenai buku yang telah dibaca kepada calon pembaca yang
lain. Selain itu, resensi juga dapat menjadi sebuah referensi bagi pembaca
untuk dapat menciptakan karya sastra yang serupa dengan buku bacaannya atau
bahkan lebih baik lagi. Dengan begitu, status kita tidak hanya sebagai pembaca
yang memiliki pengalaman terhadap buku-buku, tetapi kita juga bisa berstatus
sebagai penulis lewat langkah kecil ini.
Salah satu resensi saya kali ini adalah
mengenai buku yang berjudul "Bukan Pasar Malam" dengan niat yang
teguh, saya cukup memerlukan waktu seminggu untuk menghabiskan 104 halaman buku
ini. Target-target yang saya buat sendiri ternyata cukup ampuh dalam
menuntaskannya. Berikut adalah hasil yang saya dapatkan mengenai buku "Bukan
Pasar Malam"
Identitas buku:
Judul buku :
Bukan Pasar Malam
Penulis :
Pramoedya Ananta Toer
Cetakan pertama : April 2004
Cetakan kedua : Juni 2006
Penerbit :
Lentera Dipantara
ISBN :
978-9799-731-210
Ketebalan :
104 halaman
Resensi:
Pramoedya
Ananta Toer, merupakan seorang pahlawan gerakan anti kolonial Indonesia,
pejuang hak asasi manusia dan kebebasan berbicara. Pernah ditangkap dan dipenjarakan
oleh Belanda pada 1947 dan mulai menulis pada usia 24 tahun. Ketika usia muda,
bergabung dengan pejuang anti kolonial melawan Jepang selama perang dunia II
yang kemudian terdaftar sebagai pasukan melawan penjajahan Belanda.
Sastrawan
luar biasa ini telah menulis beberapa buku yang terbilang cukup filsafat. Seperti
yang akan saya bahas kali ini “Bukan Pasar Malam” merupakan buku realis
karangan beliau yang ditulis berdasarkan kejadian selama hidupnya.
Buku
ini mengisahkan tentang seorang anak yang pulang ke rumah karena ayahnya telah
terserang TBC. Sosok ayah yang digambarkan begitu detail mampu membuat saya
penasaran dan terus bertanya-tanya mengenai cerita di dalamnya.
Bagaimana
Pramoedya Ananta Toer memosisikan dirinya sendiri sebagai seorang anak yang
telah pulang dari penjara untuk menengok ayahnya. Di dalam rumah tersebut telah
menantinya saudara-saudara kandung yang juga sama cemasnya dengan keadaan ayah.
Sosok yang begitu dikenang, memiliki abdi besar kepada negara, namun justru
penghianatan yang diperoleh.
Kritik-kritik
mengenai dunia perpolitikan dikemas begitu rapi dalam sebuah kisah utuh dan
menarik. Pertanyaan-pertanyaan yang mampu membuat pembaca tersadar akan
perjalanan hidupnya, justru membuat kita semakin berpikir lagi dan lagi. Kemudian
judul dapat terjawab pada bab terakhir tentang pertanyaan seseorang mengenai
kehidupan dan kematian, mengenai kebersamaan, dan mengenai kenangan-kenangan
yang sengaja diberikan sebagai takdir, untuk akhirnya diambil secara paksa satu
demi satu.
Kutipan kata-kata dalam novel “Bukan Pasar
Malam”
- Hidup ini, anakku, hidup ini tak ada harganya sama sekali. Tunggulah saatnya, dan kelak engkau akan berpikir, bahwa sia-sia saja Tuhan menciptakan manusia di dunia ini
- Engkau tahu? Di dunia ini hanya kemenangan saja yang dibutuhkan.
- Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita.
- Mengapa kita harus bercerai berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang-orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasarmalam
- Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana
Komentar
Posting Komentar