Sujiwo Tejo "Lupa Endonesa"
Dalam proses membaca sebuah buku, terutama
karya sastra memerlukan ketelitian, niat dan ingatan yang kuat. Karena dengan
begitu kita akan tidak hanya menjadi penikmat, melainkan pembaca yang kritis.
Resensi adalah salah satu media yang bisa digunakan oleh pembaca untuk
memberikan informasi mengenai buku yang telah dibaca kepada calon pembaca yang
lain. Selain itu, resensi juga dapat menjadi sebuah referensi bagi pembaca
untuk dapat menciptakan karya sastra yang serupa dengan buku bacaannya atau
bahkan lebih baik lagi. Dengan begitu, status kita tidak hanya sebagai pembaca
yang memiliki pengalaman terhadap buku-buku, tetapi kita juga bisa berstatus
sebagai penulis lewat langkah kecil ini.
Salah satu resensi saya kali ini adalah
mengenai buku yang berjudul "Lupa Endonesa"
dengan niat yang teguh, saya cukup memerlukan waktu seminggu untuk
menghabiskan 287 halaman buku ini. Target-target yang saya buat sendiri
ternyata cukup ampuh dalam menuntaskannya. Berikut adalah hasil yang saya
dapatkan mengenai buku "Lupa Endonesa"
IDENTITAS
BUKU
Judul Buku:
Lupa Endonesa
Penulis: Sujiwo
Tejo
Penerbit:
PT Bentang Pustaka
Cetakan Pertama:
Juli 2016
Cetakan
Kedua: Februari 2017
ISBN:
978-602-291-225-5
Ketebalan:
287 halaman
SINOPSIS
Lupa Endonesa. Ini juga menyerupai
kitab-kitab terdahulu tentang lupa, yaitu Lupa Endonesa dan Lupa Endonesa Deui.
Apa yang akan sampean baca selanjutnya tak sepenuhnya bersangkan dari saya. Ia
berasal dari eyel-eyelan antara saya dengan tulisan yang sedang berjalan dengan
nyawanya sendiri. Keduanya bertemu di paran, yaitu di halaman-halaman yang
sampean simak.
Ketika akan menulis “Rapopo-Rapipi”,
sesungguhnya saya ingin menulis emansipasi pria-wanita melalui rumah RA Kartini
di Jepara yang menjadi museum tak terawat yang mengenaskan. Kebetulan saya
beberapa kali pernah mendalang di kawasan itu. Mampir. Menjadi saksi mata. Tapi
pas menulis alinea pertama tiba-tiba ingatan saya ke anak-anak Maia, Vena,
Tamara, dan lain-lain. Selain itu, dalam perjalanan tulisan, ketika suatu kata
cenderung ingin disambung dengan kata tertentu berikutnya, ketika suatu frasa cenderung
ingin dijalin dengan frasa tertentu berikutnya, ketika suatu kalimat cenderung
ingin dianyam dengan kalimat tertentu selanjutnya, rangkaian gerbong kalimat
itu lambat laun membujuk saya untuk mengenang tarian raksasa Cakil yang dinamis
dalam pertunjukan wayang orang. Bujukannya lebih kuat daripada kenangan saya
atas rumah Kartini di Jepara. Terjadi tarik tambang antara cicak dan buaya.
Lahirlah kadal.
Tatkala akan menulis “Buah
Simalakancuk” … Niat semula saya membela orang-orang yang hidupnya mengejar
harta. Guru-guru saya sering menyetir peristiwa besar tentang seseorang yang
siang malam bertekun tafakur di rumah ibadah. Siapa yang menghidupinya?
Saudaranya. Ia yang pontang-panting bekerja tak kenal tempo. Siapa yang lebih
baik? Ya, saudaranya itulah. Di pihak lain, tulisan yang sedang berjalan punya
nasib sendiri untuk menuntun saya sowan batiniah ke periset spiritual kearifan
lokal Agus Sunyoto. Kata Pak Kiai ini, di zaman Majapahit, orang-orang kaya
kastanya justru rendah. Mereka lebih hina daripada Sudra. Mereka kasta candala.
Jadi, ndak selanya juga pengejar
harta dipandang baik. Hasilnya? Ya, itu, seperti tadi. Atau bisa juga
sebaliknya: saya mendambakan buaya, tulisan mendambakan cicak, sampean dapat kadalnya.
O ya, satu lagi tentang tulisan …
Secara pukul rata judul tulisan saya baru ketemu setelah tulisan rampung.
Sekali dua kali judul saya tera duluan. Ini sekadar untuk patokan atau rel
dalam menulis. Tetapi, setamat tulisan hampir pasti judul itu saya ubah lagi.
Minimal saya otak-atik lagi. Kalau ngotot bertahan pada rencana awal, hubungan
judul dengan tubuh karangan menjadi laksana pengantin lama.
Saya lupa, apa, ya, judul awal bab
“Wayang Laminating”, “Rakyat Oplosan”, “Sang Mario Lehmu Ngono”, “Sinyal-Sinyal
Malasuda”, “Rupiah dan Wali Ke-13” …, dan lain-lain. Tetapi saya jamin, saya
pastikan, itu bukan deretan judul pada rencana awal.
KELEBIHAN
Buku ini adalah kumpulan cerpen, yang sebagian
besar nama tokohnya diambil dari nama wayang. Seperti ciri khasnya dalam
bercerita, Sujiwo Tejo selalu menyampaikan cerita dengan menyelipkan
kisah-kisah pewayangan. Buku ini juga ditulis sebagai bentuk kritik terhadap
negara Indonesia baik dalam segi politik, ekonomi, maupun keadaan sosial
masyarakatnya. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa orang-orang sudah merasa
nyaman dengan kehidupannya yang sekarang, padahal sebenarnya masih terdapat
banyak masalah yang menghantui sehingga diberi judul “Lupa Endonesa”.
Menurutku, buku ini sedikit sulit dipahami, karena aku sendiri belum begitu
paham tentang pewayangan, kecuali Mahabarata yang memang saat itu ada di
televisi. Tapi selain itu aku tidak menemukan kesulitan yang berarti. Justru
ini adalah buku yang bagus untuk dibaca sebagai kritik terhadap Indonesia.
KELEMAHAN
-
Penggunaan kalimat berbahasa jawa yang tidak
tepat. Seharusnya kalimat yang menggunakan bahasa jawa cukup diletakkan pada
kalimat percakapan saja, bukan pada kalimat narasi, karena dalam kumcer ini,
kalimat yang menggunakan bahasa jawa hanya sedikit.
-
Kumcer ini seluruhnya menggunakan alur maju,
tidak seperti Eka Kurniawan yang pandai dalam bermain alur, Sujiwo Tejo justru
konsisten dengan alur majunya yang membuat saya sebagai pembaca cepat bosan.
-
Latar tempat, waktu, dan suasana kurang
spesifik sehingga kurang mengajak pembaca ikut berimajinasi dalam cerita
tersebut.
*KUTIPAN
AMANAT BEBERAPA CERPEN “LUPA ENDONESA”
- Ada ibu menelantarkan anaknya jadi berita
besar, tapi ada negara menelantarkan rakyat malah jadi hal biasa
- Merdeka dari hujan itu gampang,
tinggal pakai payung
- Tapi Tuan, aku sudah bosen jadi
orang swasta, lelah. Harus selalu kreatif baru bisa makan. Boleh gak aku jadi
PNS saja? Kerja ndak kerja dapat gaji, males-malesan dapat gaji juga, dapat
pensiunan lagi!
Komentar
Posting Komentar